UAS
TELAAH KURIKULUM SMP
Rahmah
Fauziah
11140161000032
Biologi
5A
Pentingnya Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis
pada Siswa SMP/Mts dalam Pembelajaran IPA
Pada
kesempatan kali ini, penulis akan memberikan opini yang bertemakan Keterampilan
Abad 21 dan Kurikulum IPA. Penulis memilih tema tersebut karena sangat menarik
untuk ditelusuri secara lebih luas serta agar dapat membuka wawasan kepada para
pembaca khususnya para pendidik tentang pentingnya meningkatkan keterampilan
berpikir kritis pada siswa di jenjang SMP/MTs di era globalisasi ini. Karena
sangat disayangkan jika para pendidik tidak melakukan hal tersebut kepada para
siswa yang bisa saja mereka mempunyai keterampilan-keterampilan tersebut pada
diri mereka, namun tidak dikembangkan sehingga dapat menimbulkan rasa acuh tak
acuh bahkan malas untuk berpikir. Nah, untuk itu penulis akan mengungkapkan
opini-opini dari berbagai jurnal untuk ditelaah lebih lanjut.
Abad 21
merupakan abad globalisasi yang menuntut manusia untuk memiliki keterampilan-keterampilan
guna memecahkan masalah, mencari alternatif solusi pemecahan masalah, dan
berpikir reflektif serta evaluatif. Keterampilan-keterampilan tersebut merupakan
keterampilan-keterampilan berpikir yang salah satunya meliputi keterampilan
berpikir kritis. yang merupakan bagian dari kecakapan hidup yang perlu
dikembangkan melalui proses pendidikan khususnya di jenjang SMP/MTs.
Keterampilan berpikir inilah yang sangat penting untuk dikembangkang pada siswa
agar mereka dapat bertahan dan berkompetisi dalam persaingan global. Materi IPA
yang selalu mempelajari tentang objek dan fenomena alam merupakan hal yang
tidak dapat dipisahkan dari keterampilan berpikir. Hal ini disebabkan karena
mempelajari materi tersebut dapat dipahami melalui proses berpikir khususnya
berpikir kritis. Pembelajaran IPA bertujuan untuk mengasah kemampuan pada aspek
kognitif produk dan proses, keterampilan ilmiah yang salah satunya adalah
keterampilan berpikir, serta diikuti sikap mulia. Pembelajaran IPA sangat
potensial untuk mengasah keterampilan berpikir, sehingga melalui proses penemuan
fenomena alam, siswa belajar mengevaluasi, membuat ide-ide baru yang inovatif.
Keterampilan
berpikir kritis merupakan suatu keterampilan untuk menganalisis situasi yang
kompleks dengan menggunakan objektifitas dan konsistensi sebagai standar. Dalam
hal ini, siswa dituntut agar mampu menggunakan kemampuan yang dimilikinya untuk
menyelesaikan suatu permasalahan yang dihadapinya dengan sendiri kemudian siswa
juga dituntut untuk mengungkapkan, menganalisa serta menyelesaikan masalah
tersebut. Berpikir kritis membutuhkan intepretasi dan evaluasi dari suatu
pengamatan, komunikasi dan sumber informasi lainnya. Berpikir kritis juga membutuhkan
kemampuan dalam membuat asumsi, membuat suatu hubungan, dan mengambil
kesimpulan. Menurut Beyer (1985), kemampuan berpikir kritis yaitu kemampuan (1)
menentukan kredibilitas suatu sumber, (2) membedakan yang relevan dari yang
tidak relevan, (3) membedakan fakta dari penilaian, (4) mengidentifikasi dan
mengevaluasi asumsi yang tidak terucapkan, (5) memengidentifikasi sudut
pandang, (7) mengevaluasi bukti yang ditawarkan untuk mendukung pengakuan.
Proses
pembelajaran IPA yang berpusat pada siswa berpotensi melatih dan mengembangkan
keterampilan berpikir. Pada proses pembelajaran yang berpusat pada siswa, siswa
dituntuf aktif dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri berdasarkan
pengalaman pribadi dan pengetahuan yang dimilikinya, dengan bimbingan guru.
Guru memberikan kebebasan berpikir dan bertindak kepada siswa dalam memahami
pengetahuan dan memecahkan masalah. Guru memberikan fasilitas melalui
penyediaan pengalaman belajar yang dapat merangsang siswa bertanggungjawab
membuat rancangan, proses, dan eksperimen, pemberian kegiatan yang merangsang
siswa mengekspresikan gagasan dan mengkomunikasikan ide ilmiah mereka, dan
penyediaan sarana yang merangsang siswa berpikir secara kritis.
Namun,
sangat disayangkan, banyak kasus yang terjadi seperti siswa yang tidak
menggunakan kemampuan berpikir kritis tersebut. Banyak siswa yang datang ke
sekolah hanya ‘mendengarkan’ penjelasan guru saja ‘tanpa berpikir’. Saat ujian,
siswa tersebut hanya mengandalkan kemampuan menghapal materi yang telah
diajarkan. Cara belajar yang seperti ini merupakan cara belajar yang salah
walaupun siswa tersebut menjawab pertanyaan pada ujian dengan benar tetapi ia
tidak mengerti apa yang dimaksud dari pertanyaan tersebut. Jika ditanya apakah
mereka masih ingat materi yang telah diajarkan atau tidak, maka tidak heran
mereka sudah lupa apa yang mereka pelajari. Dalam hal ini, guru harus mampu
memberikan tataran kepada siswa berupa arahan-arahan agar kedepannya siswa
tersebut tidak hanya mendengarkan materi saja namun mereka berpikir sekaligus
menelaah materi yang telah diajarkan kepada mereka. Sehingga siswa dapat
membangun sendiri pengetahuan yang dibutuhkan dan diminatinya.
Sebenarnya
para guru telah menyadari bahwa pentingnya memberikan pembelajaran berpikir
agar anak menjadi cerdas, kritis dan kreatif dan mampu memecahkan masalah.
Kesadaran ini juga yang mendasari pengembangan kurikulum di Indonesia yang lebih
mengedepankan pembelajaran yang kontekstual.
Akan tetapi, beberapa guru belum serius menerapkan hal tersebut kepada para
siswa. Pembelajaran yang diharapkan hendaknya memberikan
pengalaman belajar pada siswa untuk dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis.
Keterampilan berpikir kritis siswa tercermin dari hasil tes yang diperoleh dari
pembelajaran sebelumnya yang menunjukkan bahwa pada umumnya keterampilan
berpikir kritis yang dimiliki siswa masih tergolong rendah. Selain itu, siswa
belum dibiasakan dalam kasus memecahkan masalah yang lebih kompleks untuk
menguji kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa. Permasalahan yang telah
dipelajari siswa masih sebatas latihan soal untuk ulangan harian, ujian tengah semester,
dan ujian akhir semester.
Dalam
proses pembelajaram, guru hanya memberikan pengetahuannya saja kepada para
siswa dan siswa tersebut harus membangun pengetahuannya sendiri dengan
menggunakan otaknya untuk berpikir. Menurut Nur (1999), guru sebaiknya hanya
memberi “tangga” yang dapat membantu siswa mencapai tingkat pemahaman yang
lebih tinggi, namun harus diupayakan agar siswa sendiri yang memanjat tangga
tersebut. Dalam hal ini, guru dapat membantu siswa dalam membangun pengetahuan
siswa tersebut dengan cara memberikan kesempatan untuk menemukan dan menerapkan
sendiri ide-ide atau gagasan dengan mengajak mereka agar secara sadar mereka
menggunakan cara mereka sendiri. Diskusi merupakan cara efektif untuk melatih
dan mengembangkan keterampilan berpikir kritis siswa. Hal ini disebabkan karena
melalui diskusi, siswa dapat berbagi pendapat, berpikir perspektif, mendapatkan
pengalaman, belajar mempertimbangkan, menolak atau menerima pendapat sendiri
atau orang lain.
Terlihat
bahwa keterampilan berpikir kritis dapat dilatih melalui pembelajaran IPA.
Sebagai contoh, ide-ide dimunculkan dengan melibatkan siswa pada
pertanyaan-pertanyaan terbuka serta kesempatan berdiskusi. Keterampilan relasi
dimunculkan dengan memberikan kesempatan kepada para siswa untuk menganalisis
keterhubungan suatu kejadian baik alat maupun proses dengan konsep IPA.
Sintesis dapat dimunculkan dengan penugasan yang menjadikan para siswa
menggabungkan unsur-unsur materi pembelajaran yang diwujudkan berupa laporan
tertulis atau gambar. Inferensi dimunculkan dengan memberi kesempatan kepada
para siswa untuk membuat kesimpulan dari materi dan kegiatan yang telah mereka
pelajari dan lakukan.
Sebaiknya,
untuk para guru mulai meningkatkan keterampilan berpikir kritis kepada para
siswa khususnya di jenjang SMP/MTs. Karena hal ini sangat penting untuk masa
depan mereka. Para guru juga perlu melakukan refleksi diri tentang cara
mengajar mereka dalam mempersiapkan para siswa untuk mempertahankan
eksistensinya di era globalisasi ini. Dengan begitu para siswa dapat
mengembangkan pola berpikir mereka, karena mereka adalah generasi penerus
bangsa yang akan menghadapi dunia yang penuh dengan tantangan dan permasalahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar